Selasa, 30 Juni 2009

Akhlak Di Era Globalisasi

Ketika Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo tempo hari berkata, “Aung San Suu Kyi harus dibebaskan, sekarang juga,” maka ini berita tentang globalisasi. Begitu pula ketika soal geng motor di Bandung dan geng anak-anak sekolahan di Jakarta mencuat, ini pun berita globalisasi. Yang pertama perihal agen globalisasi, yang kedua mengenai korban globalisasi.
Globalisasi adalah ibarat bola salju yang terus bergerak. Hampir semua berita adalah tentang globalisasi. Mungkin saja jalannya sesekali memelan beberapa saat atau berbelok, tetapi dia tak kenal henti dan tak terbendung. Semakin lama geraknya semakin cepat dan semakin cepat, dengan gemuruh yang kian menghebat.
Dua peristiwa di atas sengaja kita singgung sebagai berita tentang globalisasi bukan untuk mengecilkan arti yang lain, melainkan untuk menunjukkan betapa globalisasi itu memiliki agen-agennya sendiri yang mengelola dan mengarahkan arusnya. Meski globalisasi telah menjadi kemestian sejarah, sebenarnya para agen itulah yang melakukan rekayasa-rekayasa guna mewujudkan satu dunia sebagai yang mereka kehendaki. Merekalah yang mencarikan jalan bagi bola salju globalisasi. Mereka pula yang menghalau rintangan-rintangan terhadap jalannya bola salju dimaksud.
Atau, lebih tepatnya, pintu akses untuk bola salju itu sudah ada di banyak negara namun di banyak negara, pintu itu begitu sempitnya sehingga tidak seluruh tubuh bola salju bisa masuk ke dalamnya. Para agen itulah yang berusaha memperlebar pintu akses tersebut, kalau perlu dengan cara membongkar paksa. Yang dilakukan Arroyo adalah, tidak lain, membuka akses bagi bola salju tersebut. Begitu pun yang dilakukan Presiden AS George Bush di Irak dan lain-lain – yang, katanya, bertujuan mewujudkan demokratisasi di sana.
Memang seringkali agen pembuka akses adalah figur-figur politik internasional (meski para pengusaha multinasional tak jarang bisa pula menembus batas-batas negara tanpa bantuan agen politis). Biasanya, begitu akses dibuka, maka para agen lain akan segera berlompatan masuk guna menebarkan benih-benih globalisasi. Dan begitu akses telah dibuka lebar-lebar, arus globalisasi itu bakal menderas, dan kita tak mampu membendungnya, seperti yang terjadi setelah terkuaknya kotak pandora reformasi di negeri kita.
Globalisasi ibarat sel-sel yang merambah kehidupan kita. Dia mengintip kehidupan kita yang paling pribadi. Dia masuk ke rumah-rumah kita. Ke bilik-bilik kita. Dia tidak hanya menjamah wilayah politik dan ekonomis, tetapi juga budaya dan sosial. Dia mengatur perilaku kita sehari-hari. Dia menyeragamkan cara bicara kita, cara berpakaian kita, cara berjalan kita, gerak tubuh kita. Dia menyetel cara bergaul kita. Dia mengatur-atur cara beragama kita. Dan karena produsen dan sekaligus pemenang pada kancah globalisasi itu adalah dunia Barat, maka globalisasi berarti baratisasi atau westernisasi. Akhir-akhir ini malah lebih sempit lagi: amerikanisasi.

Akhlak

Celakanya, pesan-pesan globalisasi itu dalam banyak hal berada pada kutub yang berseberangan dengan prinsip-prinsip akhlak agama kita. Misalnya, akhlak Islami berdiri di atas nilai-nilai rasa malu sedang arus globalisasi memaksa kita untuk membuang rasa malu itu. “Buat apa malu? Dadamu itu bagus kulitnya, jangan ditutupi,” begitu saran mereka (lihat tayangan televisi “Mama Mia”, misalnya). Kita dilarang malu untuk bermabuk-mabukan, untuk berlagak yang aneh-aneh layaknya orang gila, untuk berpakaian dan tampil secara tidak lumrah sebagai manusia. Tidak malu untuk berzina, tidak malu berselingkuh, bahkan untuk menyebarkan video adegan tidak senonoh sendiri, seperti dilakukan dua sejoli siswa SMA di Lamongan.
Akhlak Islami juga berdiri di atas pengakuan adanya perbedaan antara satu dan lain orang. Meski Islam mengakui kesamaan dasariyah semua orang sehingga hak-hak dasar harus diberikan kepada setiap orang dan setiap orang patut mendapat penghormatan sebagai manusia, toh antara satu dan lain ada perbedaan – paling tidak di permukaan. Nabi s.a.w. bersabda, “Bukan golongan kami orang yang tidak mengasihi orang yang lebih muda dan tidak menghormati orang yang lebih tua.” Anak kecil harus bersikap hormat kepada orang yang lebih tua. Begitu pun, orang tua tidak boleh bersikap mentang-mentang dan menindas pada yang lebih muda. Ayah dan ibu harus dimuliakan, dituruti perintahnya. Guru harus dihormati. Dan seterusnya.
Sebaliknya, arus globalisasi mendorong kita untuk mempersamakan semua orang nyaris secara tuntas. Anak tak harus menurut pada orangtuanya. Dengan alasan hak asasi, anak didorong untuk menuntut secara hukum pada orangtua mereka. Anak-anak juga dihasut untuk berani pada guru-guru mereka. Mencaci mereka pun bukan pamali.
Dalam Islam akhlak adalah mutlak. Akhlak adalah bagian dari agama Islam itu sendiri. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda, “Aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.”

Seru

O ya, globalisasi adalah kancah. Di situ ada pertarungan. Pertarungan bisa berlangsung seru, seperti ketika memperhadapkan antara Amerika Serikat di satu pihak dengan Jepang atau Eropa di pihak lain. Entah itu di ranah budaya, atau di ranah ekonomi. Seringkali pertarungan itu berlangsung tidak seimbang, sebagaimana yang terjadi pada kita ketika berhadapan dengan mereka. Kita tak mampu mewarnai bola salju globalisasi.
Hal itu dikarenakan keterbatasan kita dalam hal sumber-sumber, ilmu, teknologi dan lain-lain, khususnya sumber kekuasaan. Di samping itu, juga dikarenakan mental kita yang sudah terlanjur hanyut dalam arus globalisasi seperti mereka citrakan dan silau pada kemilau kemegahan Barat – hal-hal yang membuat kita membebek laksana lembu dicocok hidungnya, lalu kita mengabaikan kekayaan serta kearifan spiritual kita. Kita seperti tidak tahu, Barat pada hakikatnya adalah kerapuhan. [Ibnu-Sundawy]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar