Senin, 20 Juli 2009

GURU TUNTUNAN APA TONTONAN ?

Keberhasilan seorang murid dalam meraih cita-citanya, memang tak lepas dari peranan seorang guru. Murid yang cerdas, pintar dan berprestasi bisa dilihat dari kejeniusan seorang guru dalam menerapkan metodologi pembelajaran kepada muridnya. Disamping itu, keuletan dan kecekatan seorang guru juga merupakan faktor yang bisa menggantarkan anak didiknya betul-betul menjadi siswa yang terpelajar dan terdidik
Guru yang ideal bukan merupakan seorang otokrat dan bukan pula seorang anarkis. Guru yang demokratis harus bisa memberikan tuntunan, sehingga dari situ bisa menanamkan rasa tanggungjawabnya sebagai seorang pendidik. Di sisi lain seorang guru harus bisa menjaga relasi atau hubungan baik dengan muridnya. Jika tidak demikian, murid cenderung untuk berprilaku buruk atau tidak mempunyai sopan santun. Untuk mengantisipasi problema di atas, seorang guru harus memperhatikan hal-hal berikut:
1. Secara pribadi seorang guru harus terlibat dengan murid, menerima murid tetapi bukan dari prilaku buruknya.
2. Mendapatkan gambaran mengenai kelakuan murid saat ini, memecahkan masalah bukan menilai atau mempertimbangkan murid.
3. Seorang guru harus ikut urun-rembuk dalam membuat satu keputusan yang berharga perihal problema tingkah laku, memfokuskan pada yang diperbuat murid yang nantinya bisa memberikan solusi terhadap kegagalan mereka ( murid ).
4. Menghargai setiap gagasan yang keluar dari pemikiran murid.
5. Membiarkan murid menanggung konsekuensi alam dan realitas dalam menerima akibat dari kelakuannya yang buruk tetapi tidaklah menghukum mereka, melainkan membantu murid mencoba lagi untuk mengembangkan rencana yang lebih baik dan mengharap mereka membuat janji padanya.
Hal diatas merupakan teknis atau proses yang sangat efektif bagi seorang guru yang ingin membantu murid yang berkelakuan buruk dalam mengembangkan kelakuan atau perilaku yang lebih produktif. Hal ini juga sekaligus menjadi resep seorang guru, jika ingin menjadi guru yang profesional dan mempunyai prospek ke depan.
Keilmuan yang dimiliki setiap murid memanglah sangat penting. Akan tetapi, jika keilmuan tadi tidak ditemani dengan perilaku atau moral yang baik , maka ilmu tersebut bagaikan seorang wanita yang tidak memakai perhiasan. Di sini tugas seorang guru harus bisa memberika perhiasan tersebut, dan paling tidak seorang guru mempunyai perhiasan (sopan santun/moral) itu sendiri, yang mana ia harus memakainya setiap hari dan dimanapun ia berada.
Sekali lagi penulis katakan, guru profesional adalah guru yang bisa mengubah muridnya dari ketidakbisaan/kebodohan menjadi orang yanag mengerti, dari kelakuan buruk menjadi seorang murid yang berahklakulkarimah, dan yang paling terpenting seorang guru harus bisa menjadi panutan, harus bisa menjadi tuntunan bukan tontonan ,harus mampu menjadikan dirinya seorang guru yang digugu lan ditiru bukan diguyu lan ditinggal mblayu. [Ibnu-Sundawy]

Selengkapnya...

Empat Ratus Ribu Untuk Sorban Kyai Hamid

Kyai Abdul Hamid dimata masyarakat (khususnya Pasuruan) adalah seorang ulama' yang memiliki kepribadian yang luar biasa, beliau adalah magnet yang mampu menarik ribuan orang untuk selalu berbuat kebaikan dan memahami agama Islam sesuai dengan petunjuk Tuhan dan Rasul-Nya. Dimata mereka (penduduk Pasuruan) Kyai Hamid adalah figur yang mampu atau dapat mengatasi problematika kehidupan, sampai-sampai salah satu muhibbin beliau mengatakan: "disek sek onok Kyai Hamid, saben wong duwe masalah terus melayu neng Kyai Hamid, pasti masalahe mari" (dulu waktu zamannya Kyai Hamid / ketika beliau masih ada, setiap orang yang mempunyai masalah kemudian dihaturkan kepada Kyai Hamid, pasti masalah tersebut akan selesai). Kecintaan masyarakat Pasuruan kepada Kyai Hamid begitu beragam, ada yang mencintai beliau dari segi akhlaqnya, ketawadu'an, atau kedermawanannya, dan juga tak jarang sebagian masyarakat mencintai beliau karena kekeramatan yang dimilki, saking begitu fanatiknya kepada Kyai Hamid, sampai-sampai H. Abdul Basith dari Jember, pada satu kesempatan, beliau dikasih sorban oleh KH. Abdurrohman yang konon sorban itu dulunya adalah peninggalan Kyai Hamid. Sebelumnya H. Basith sudah tahu siapa Kyai Hamid sesungguhnya. Pemberian sorban bermula dari KH. Abdurrohman yang hendak mengambil Luthfi putra dari H. Abdul Basith untuk dinikahkan dengan putri beliau yang bernama Afifah. Setelah proses pernikahan Luthfi dan neng Afifah selesai, beliau (KH. Abdurrohman) memberikan sorban yang diberi Kyai Hamid kepada H. Basth (besan beliau). Mengetahui sorban tersebut pemberian/ dari Kyai Hamid, beliau senang bukan kepalang, sampai-sampai sorban tersebut dimusiumkan alias tidak pernah dipakai.
Hari demi hari terus dilalui H. Basith dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan, meskipun ia tak lagi tinggal bersama putranya (Luthfi), hal ini lantaran semenjak Lutfi menjadi menantu KH. Abdurrohman yang masih terbilang adik ipar KH. Abdul Hamid, Luthfi tidak lagi tinggal di Jember, akan tetapi berdomisili di Pasuruan. Setelah dapat beberapa minggu setelah pernikahan tersebut, Gus Luthfi (begitu sapaan akrab beliau sehabis menikah) hendak sambang ke keluarganya di Jember. Setelah sampai, dan bersandau gurau dengan familinya ditengah-tengah perbincangan, H. Basith bercerita kepada putranya (Gus Luthfi) tentang sorban yang diperoleh dari besannya (KH. Abdurrohman). "Lut…, awakmu ngerti nggak! Aku diwei sorban KH. Abdurrohman, sing asline sorban iku goneane Kyai Hamid" (Lut… kamu tahu nggak! Saya dikasih sorban KH. Abbdurrohman, yang aslinya sorban tersebut milik Kyai Hamid). Sepintas gus Luthfi tidak begitu terkesima dan tertarik, akan tetapi setelah beberapa hari, pada saat itu keluarga gus Luthfi tertimpa musibah, gudang tembakau milik kakaknya terbakar, nah, kebetulan disamping gudang milik kakaknya tersebut juga berdiri gudang tembakau milik adiknya, ayah gus Luthfi yang ketika itu sangat panik dan khawatir terhadap gudang anak satunya yang masih utuh, , tiba-tiba saja beliau ingat dengan sorban Kyai Hamid yang dimilikinya, saking mantapnya kepada Kyai yang bergelar wali abdal itu, H. Basith langsung mengambil sorban tersebut, dengan tanpa ragu beliau langsung mengibas-ibaskan sorban tersebut pada gudang tembakau milik anaknya. Sungguh diluar dugaan, sorban sekecil itu mampu memadamkan si jago merah hanya dengan beberapa kibasan. Subhanalloh…!. Setelah melihat kejadian tersebut dengan mata kepala sendiri, gus Luthfi akhirnya tertarik dan ingin memiliki sorban dari Kyai Hamid itu, hingga pernah beliau minta kepada Abahnya supaya sorban tersebut dikasihkan kepada beliau, H. Basith saat itu merasa keberatan. Pada kesempatan lain gus Luthi kembali merayu Abahnya supaya sorban miliknya diberikan, sampai-sampai gus Luthfi mau membayar sorban peninggalan Kyai Hamid tersebut dengan harga 400 ribu (sebelum krismon), lagi-lagi abahnya enggan memberikan, malah beliau berkata pada putranya, "koen ngono enak lut…! Neng kono cedek ambek pesarehane romo Kyai, lha…lek aku adho…ajok wis! Iki kenang-kengan soko Kyai hamid sing aku duwe"(kamu gitu enak Lut…! Disana dekat denga makamnya Kyai Hamid, sedangkan saya jauh, jangan sudah! Ini cindera mata dari Kyai Hamid yang aku punya). [Ibnu-Sundawy]

Selengkapnya...

Selasa, 30 Juni 2009

CERMINAN JIWA DARI SETETES AIR

JUDUL BUKU : The Hidden Messages In Water
NAMA PENGARANG : Masaru Emoto
PENERBIT : PT. Gramedia Pustaka Utama
TAHUN TERBIT : 2006
KOTA PENERBITAN : Jakarta
TEBAL HALAMAN : 86 Halaman
RESENTATOR : Muhammad Fajar


Di mata penduduk Jepang atau tepatnya kota Yokohama. Sosok Masaru Emoto bukanlah hal yang asing lagi. Pria kelahiran kota Yokohama 1943 ini telah banyak menorehkan banyak gelar dan sebuah karya gumilang yang cukup spektakuler di tahun 2006. Sebagai mahasiswa lulusan fakultas kemanusiaan dan ilmu pengetahuan Universitas Negeri Yokohama jurusan hubungan internasional, ia telah membuktikan keilmuaannya dengan melakukan sebuah riset yang ekstensif tentang air di seluruh dunia, bukan sebagai peneliti ilmiah, tetapi lebih dari sudut pandang seorang pemikir orisinal. Beliau juga sangat produktif dengan berbagai karya penelitiannya, misalnya: Message from Water, The Hidden Message in Water.
Buku ini merupakan satu karya yang acap kali dengan nilai ilmiah dan bisa menghipnotis para pembacanya untuk fokus terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada alam sekitar, bahkan buku ini mengajak seseorang untuk lebih mempercayai eksistensi Tuhan dalam menciptakan semua yang ia kehendaki dan apa yang telah menjadi karunianya, khususnya terhadap seoarang manusia. Pada kesempatan kali ini, pengarang buku memperkenalkan bagaimana keagungan air yang sebenarnya memiliki segudang misteri atau rahasia dalam kenidupan, yang mayoritas umat manusia jarang sekali memperhatikan dan membongkar rahasia di balik air tersebut.
Dengan bahasa yang cukup jelas, lugas dan mudah diterima akal, tetunya penulis sengaja menpermudah pembaca dalam memahami keagungan air. Air yang selama ini menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan, tentunya juga memiliki kemampuan untuk menyalin dan mengingat informasi. Kita juga dapat mengatakan bahwa air laut memiliki ingatan akan mahluk-mahluk yang hidup didalamnya. Glasier bumi dapat mengandung jutaan tahun sejarah planet ini. Air mengelilingi dunia, mengalir melalui tubuh kita dan menyebar keseluruh dunia. Jika kita mampu membaca informasi yang terkandung dalam ingatan air, maka kita akan bisa membaca kisah yang luar biasa. Memahami air adalah memahami kosmos, keajaiban alam, makna dari hidup itu sendiri.
Berbagi macam riset yang pernah dilakukan, Dr. Masaru Emoto mempunyai puluhan kesimpulan dalam menyikapi air yang sejatinya merupakan sumber penghidupan. Air menurut analisisnya banyak sekali memilki relasi dengan kosmos, air bisa mencerminkam watak dunia, air bisa menggambarkan kepribadian seseorang ketika bergaul dengan alam, air juga bisa membawa malapetaka bagi ketenangan dunia, dan banyak lagi peran air dalam kehidupan jika kita mau memaparkannya.
Air adalah sesuatu yang biasa dalam realitas kehidupan kita, sehingga kita cenderung mencampakkan, dan jarang sekali memikirkannya. Meskipun kita meminumnya, mencuci dengannya, serta memasak denganya di setiap hari hidup kita, hanya sedikit orang yang meluangkan waktunya untuk memikirkan air dengan serius. Tetapi mungkin tak ada yang lebih miterius dari pada air. Salah satu paling misterius dalam air adalah fakta bahwa es mengapung di dalamnya. Jika kita mau membuka mata, maka kita akan melihat bahwa dunia penuh dengan hal-hal menarik dan layak untuk kita syukuri, bila kita sudah menjadi wujud syukur, coba anda pikirkan betapa murninya air yang mengisi tubuh kita. Ketika ini terjadi, kita sandiri akan menjadi kristal cahaya yang cemerlang dan indah.
Sejak zaman kuno, ras manusia terus menjadi korban kerusakan dan kehancuran yang disebabkan oleh air. Nyaris semua budaya di dunia memiliki kisah tentang banjir besar, dan ada bukit ilmiah yang menunjukkan bahwa dulu, bumi terendam air. Kita tak bisa mengesampingkan sama sekali Nabi Nuh alaihissalam dan banjir besar yang dialaminya, serta dongeng-dongeng peradaban atlantis dan benua Mu yang hilang ke laut.
Ungkapan bahwa sejarah berulang memanglah benar, dan sekarang ada isu yang mengatakan: ada resiko, bahwa air akan tiba di ruang angkasa dan sekali lagi menyelimuti planet kita. Peristiwa ini mungkin masi puluhan atau ribuan tahun lagi, tetapi mungkin tak terlalu dini untuk mengambil tindakan demi untuk mencegah bencana ini. Bahkan kita sering mendengar tentang banjir di berbagai daerah atau di berbagai penjuru dunia.
Di akhir resensi ini, resentator bisa memberikan kesimpulan, bahwasannya segala yang terjadi di semesta ini, tidak menutup kemungkinan juga bakal menimpah diri kita sendiri, dan jika manusia mensyaratkan peredaran air maka hal ini juga diisyaratkan oleh alam semesta, serta perlu diingat dalam memori kita, air merupakan sumber kehidupan manusia dan alam semesta, yang relasi dari keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan.
Selengkapnya...

Empat Ratus Ribu Untuk Sorban Kyai Hamid

Kyai Abdul Hamid dimata masyarakat (khususnya Pasuruan) adalah seorang ulama' yang memiliki kepribadian yang luar biasa, beliau adalah magnet yang mampu menarik ribuan orang untuk selalu berbuat kebaikan dan memahami agama Islam sesuai dengan petunjuk Tuhan dan Rasul-Nya. Dimata mereka (penduduk Pasuruan) Kyai Hamid adalah figur yang mampu atau dapat mengatasi problematika kehidupan, sampai-sampai salah satu muhibbin beliau mengatakan: "disek sek onok Kyai Hamid, saben wong duwe masalah terus melayu neng Kyai Hamid, pasti masalahe mari" (dulu waktu zamannya Kyai Hamid / ketika beliau masih ada, setiap orang yang mempunyai masalah kemudian dihaturkan kepada Kyai Hamid, pasti masalah tersebut akan selesai). Kecintaan masyarakat Pasuruan kepada Kyai Hamid begitu beragam, ada yang mencintai beliau dari segi akhlaqnya, ketawadu'an, atau kedermawanannya, dan juga tak jarang sebagian masyarakat mencintai beliau karena kekeramatan yang dimilki, saking begitu fanatiknya kepada Kyai Hamid, sampai-sampai H. Abdul Basith dari Jember, pada satu kesempatan, beliau dikasih sorban oleh KH. Abdurrohman yang konon sorban itu dulunya adalah peninggalan Kyai Hamid. Sebelumnya H. Basith sudah tahu siapa Kyai Hamid sesungguhnya. Pemberian sorban bermula dari KH. Abdurrohman yang hendak mengambil Luthfi putra dari H. Abdul Basith untuk dinikahkan dengan putri beliau yang bernama Afifah. Setelah proses pernikahan Luthfi dan neng Afifah selesai, beliau (KH. Abdurrohman) memberikan sorban yang diberi Kyai Hamid kepada H. Basth (besan beliau). Mengetahui sorban tersebut pemberian/ dari Kyai Hamid, beliau senang bukan kepalang, sampai-sampai sorban tersebut dimusiumkan alias tidak pernah dipakai.
Hari demi hari terus dilalui H. Basith dengan penuh keceriaan dan kebahagiaan, meskipun ia tak lagi tinggal bersama putranya (Luthfi), hal ini lantaran semenjak Lutfi menjadi menantu KH. Abdurrohman yang masih terbilang adik ipar KH. Abdul Hamid, Luthfi tidak lagi tinggal di Jember, akan tetapi berdomisili di Pasuruan. Setelah dapat beberapa minggu setelah pernikahan tersebut, Gus Luthfi (begitu sapaan akrab beliau sehabis menikah) hendak sambang ke keluarganya di Jember. Setelah sampai, dan bersandau gurau dengan familinya ditengah-tengah perbincangan, H. Basith bercerita kepada putranya (Gus Luthfi) tentang sorban yang diperoleh dari besannya (KH. Abdurrohman). "Lut…, awakmu ngerti nggak! Aku diwei sorban KH. Abdurrohman, sing asline sorban iku goneane Kyai Hamid" (Lut… kamu tahu nggak! Saya dikasih sorban KH. Abbdurrohman, yang aslinya sorban tersebut milik Kyai Hamid). Sepintas gus Luthfi tidak begitu terkesima dan tertarik, akan tetapi setelah beberapa hari, pada saat itu keluarga gus Luthfi tertimpa musibah, gudang tembakau milik kakaknya terbakar, nah, kebetulan disamping gudang milik kakaknya tersebut juga berdiri gudang tembakau milik adiknya, ayah gus Luthfi yang ketika itu sangat panik dan khawatir terhadap gudang anak satunya yang masih utuh, , tiba-tiba saja beliau ingat dengan sorban Kyai Hamid yang dimilikinya, saking mantapnya kepada Kyai yang bergelar wali abdal itu, H. Basith langsung mengambil sorban tersebut, dengan tanpa ragu beliau langsung mengibas-ibaskan sorban tersebut pada gudang tembakau milik anaknya. Sungguh diluar dugaan, sorban sekecil itu mampu memadamkan si jago merah hanya dengan beberapa kibasan. Subhanalloh…!. Setelah melihat kejadian tersebut dengan mata kepala sendiri, gus Luthfi akhirnya tertarik dan ingin memiliki sorban dari Kyai Hamid itu, hingga pernah beliau minta kepada Abahnya supaya sorban tersebut dikasihkan kepada beliau, H. Basith saat itu merasa keberatan. Pada kesempatan lain gus Luthi kembali merayu Abahnya supaya sorban miliknya diberikan, sampai-sampai gus Luthfi mau membayar sorban peninggalan Kyai Hamid tersebut dengan harga 400 ribu (sebelum krismon), lagi-lagi abahnya enggan memberikan, malah beliau berkata pada putranya, "koen ngono enak lut…! Neng kono cedek ambek pesarehane romo Kyai, lha…lek aku adho…ajok wis! Iki kenang-kengan soko Kyai hamid sing aku duwe"(kamu gitu enak Lut…! Disana dekat denga makamnya Kyai Hamid, sedangkan saya jauh, jangan sudah! Ini cindera mata dari Kyai Hamid yang aku punya). [Ibnu-Sundawy]
Selengkapnya...

Akhlak Di Era Globalisasi

Ketika Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo tempo hari berkata, “Aung San Suu Kyi harus dibebaskan, sekarang juga,” maka ini berita tentang globalisasi. Begitu pula ketika soal geng motor di Bandung dan geng anak-anak sekolahan di Jakarta mencuat, ini pun berita globalisasi. Yang pertama perihal agen globalisasi, yang kedua mengenai korban globalisasi.
Globalisasi adalah ibarat bola salju yang terus bergerak. Hampir semua berita adalah tentang globalisasi. Mungkin saja jalannya sesekali memelan beberapa saat atau berbelok, tetapi dia tak kenal henti dan tak terbendung. Semakin lama geraknya semakin cepat dan semakin cepat, dengan gemuruh yang kian menghebat.
Dua peristiwa di atas sengaja kita singgung sebagai berita tentang globalisasi bukan untuk mengecilkan arti yang lain, melainkan untuk menunjukkan betapa globalisasi itu memiliki agen-agennya sendiri yang mengelola dan mengarahkan arusnya. Meski globalisasi telah menjadi kemestian sejarah, sebenarnya para agen itulah yang melakukan rekayasa-rekayasa guna mewujudkan satu dunia sebagai yang mereka kehendaki. Merekalah yang mencarikan jalan bagi bola salju globalisasi. Mereka pula yang menghalau rintangan-rintangan terhadap jalannya bola salju dimaksud.
Atau, lebih tepatnya, pintu akses untuk bola salju itu sudah ada di banyak negara namun di banyak negara, pintu itu begitu sempitnya sehingga tidak seluruh tubuh bola salju bisa masuk ke dalamnya. Para agen itulah yang berusaha memperlebar pintu akses tersebut, kalau perlu dengan cara membongkar paksa. Yang dilakukan Arroyo adalah, tidak lain, membuka akses bagi bola salju tersebut. Begitu pun yang dilakukan Presiden AS George Bush di Irak dan lain-lain – yang, katanya, bertujuan mewujudkan demokratisasi di sana.
Memang seringkali agen pembuka akses adalah figur-figur politik internasional (meski para pengusaha multinasional tak jarang bisa pula menembus batas-batas negara tanpa bantuan agen politis). Biasanya, begitu akses dibuka, maka para agen lain akan segera berlompatan masuk guna menebarkan benih-benih globalisasi. Dan begitu akses telah dibuka lebar-lebar, arus globalisasi itu bakal menderas, dan kita tak mampu membendungnya, seperti yang terjadi setelah terkuaknya kotak pandora reformasi di negeri kita.
Globalisasi ibarat sel-sel yang merambah kehidupan kita. Dia mengintip kehidupan kita yang paling pribadi. Dia masuk ke rumah-rumah kita. Ke bilik-bilik kita. Dia tidak hanya menjamah wilayah politik dan ekonomis, tetapi juga budaya dan sosial. Dia mengatur perilaku kita sehari-hari. Dia menyeragamkan cara bicara kita, cara berpakaian kita, cara berjalan kita, gerak tubuh kita. Dia menyetel cara bergaul kita. Dia mengatur-atur cara beragama kita. Dan karena produsen dan sekaligus pemenang pada kancah globalisasi itu adalah dunia Barat, maka globalisasi berarti baratisasi atau westernisasi. Akhir-akhir ini malah lebih sempit lagi: amerikanisasi.

Akhlak

Celakanya, pesan-pesan globalisasi itu dalam banyak hal berada pada kutub yang berseberangan dengan prinsip-prinsip akhlak agama kita. Misalnya, akhlak Islami berdiri di atas nilai-nilai rasa malu sedang arus globalisasi memaksa kita untuk membuang rasa malu itu. “Buat apa malu? Dadamu itu bagus kulitnya, jangan ditutupi,” begitu saran mereka (lihat tayangan televisi “Mama Mia”, misalnya). Kita dilarang malu untuk bermabuk-mabukan, untuk berlagak yang aneh-aneh layaknya orang gila, untuk berpakaian dan tampil secara tidak lumrah sebagai manusia. Tidak malu untuk berzina, tidak malu berselingkuh, bahkan untuk menyebarkan video adegan tidak senonoh sendiri, seperti dilakukan dua sejoli siswa SMA di Lamongan.
Akhlak Islami juga berdiri di atas pengakuan adanya perbedaan antara satu dan lain orang. Meski Islam mengakui kesamaan dasariyah semua orang sehingga hak-hak dasar harus diberikan kepada setiap orang dan setiap orang patut mendapat penghormatan sebagai manusia, toh antara satu dan lain ada perbedaan – paling tidak di permukaan. Nabi s.a.w. bersabda, “Bukan golongan kami orang yang tidak mengasihi orang yang lebih muda dan tidak menghormati orang yang lebih tua.” Anak kecil harus bersikap hormat kepada orang yang lebih tua. Begitu pun, orang tua tidak boleh bersikap mentang-mentang dan menindas pada yang lebih muda. Ayah dan ibu harus dimuliakan, dituruti perintahnya. Guru harus dihormati. Dan seterusnya.
Sebaliknya, arus globalisasi mendorong kita untuk mempersamakan semua orang nyaris secara tuntas. Anak tak harus menurut pada orangtuanya. Dengan alasan hak asasi, anak didorong untuk menuntut secara hukum pada orangtua mereka. Anak-anak juga dihasut untuk berani pada guru-guru mereka. Mencaci mereka pun bukan pamali.
Dalam Islam akhlak adalah mutlak. Akhlak adalah bagian dari agama Islam itu sendiri. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda, “Aku diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak-akhlak mulia.”

Seru

O ya, globalisasi adalah kancah. Di situ ada pertarungan. Pertarungan bisa berlangsung seru, seperti ketika memperhadapkan antara Amerika Serikat di satu pihak dengan Jepang atau Eropa di pihak lain. Entah itu di ranah budaya, atau di ranah ekonomi. Seringkali pertarungan itu berlangsung tidak seimbang, sebagaimana yang terjadi pada kita ketika berhadapan dengan mereka. Kita tak mampu mewarnai bola salju globalisasi.
Hal itu dikarenakan keterbatasan kita dalam hal sumber-sumber, ilmu, teknologi dan lain-lain, khususnya sumber kekuasaan. Di samping itu, juga dikarenakan mental kita yang sudah terlanjur hanyut dalam arus globalisasi seperti mereka citrakan dan silau pada kemilau kemegahan Barat – hal-hal yang membuat kita membebek laksana lembu dicocok hidungnya, lalu kita mengabaikan kekayaan serta kearifan spiritual kita. Kita seperti tidak tahu, Barat pada hakikatnya adalah kerapuhan. [Ibnu-Sundawy]
Selengkapnya...

“ المسلم من سلم المسلم من يده ولسانه”

“Seorang muslim itu adalah orang muslim yang selamat dari bahaya tangan dan lisannya”
Pada umumnya, seseorang dalam menjalani kehidupan mengalami atau tak lepas dari “kebahagiaan dan kesengsaraan”. Kedua hal tersebut bisa datang dari sang perncipta yakni Allah SWT atau pun datang dari golonganmereka sendiri yakni manusia. Kebahagiaan dan kesengsaraan adalah suatu “Atsar” (Bekas) dari apa yang telah mereka (manusia) lakukan ketika menjalani roda kehidupan. Kalau boleh dicontohkan, seseorang yang telah susah-payah, banting tulang untuk mencari nafkah bagi kelurganya, pada akhihrnya mendapatkan kebahagiaan yang berupa harta yang melimpah ruah. Pun demikian sebalikny, dalam kondisi dan situasi yang serba sulit ini, seseorang hanyalah Ngalor-Ngidul, Ngetan-Ngulan tanpa adanya pandangan hidup (World View) atau tidak mempunyai penetapan misi (Mission Statenment) yang mengakibatkan ia hanya memperoleh satu kata yakni “Kesengsaraan” dalam hidupnya, من اجتهاد نجح, yang artinya, barang siapa yang bersungguh-sungguh maka akan berhasil. Berakit-rakit dahulu berenang ketepian, bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Mengkin orang-orang sudah melupakan kata-kata Motivasi di atas, mereka lebih senang memimpikan kebahagiaan dalam lamunan.

Hal diatas adalah suatu fenomena kehidupan yang banyak kita saksikan. Diakui atau tidak, pada kenyataannya problema tersebut adalah bagian dari “Track Record” atau catatan perjalanan kita.
Berdasarkan hadits nabi diatas, sebenarnya kebahagiaan atau kesengsaraan yang dialami seseorang bukan semata-mata karena besar-kecilnya usaha mereka atau bahkan faktor kemalasan mereka dalam menapaki kehidupan. Lain dari itu, kedua organ tubuh kita yang bernama “Tangan” dan “Lisan” adalah faktor utama yang menyebabkan kita mendapatkan kebahagiaan ataukah kesengsaraan. Memang benar, kalau kita beranggapan usaha itu kan juga melibatkan tangan dan lisan, akan tetapi, usaha itu tidak hanya sebatas ke-dua organ tubuh saja, melainkan kaki, badan/fisik, telinga, akal-pikiran merupakan hal-hal yang juga dibutuhkan dalam usaha seseorang. Maksud penulis disini, tangan atau lisan adalah faktor yang paling dominant untuk menentukan kebahagian dan kesusahan seseorang.
Dalam deretan cerita Islam, kita mengenal sosok kyai Barseso yang masyhur akan kealimannya, namun, akibat ulahnya karena terkena bujuk-rayu Syaitan, si Kyai Barseso yang konon memiliki ribuan santri yang bisa tersebut, mengeluarkan kata-kata yang menyatkan dirinya keluar agama Islam alias Murtad, Naudzubillad . . . . . . . ., Iblis, Makhluq Allah SWT yang pada mulanya bertempat di surga, lalu diusir oleh Allah lantaran tidak mau menyembah kepada Nabi Adam a.s. dan dengan sombongnya ia mengatakan : أنا خير منه خلقنى من نار وخلقته من طين (الأعراف : ۱۲)
lewat sombongnya juga, si Fir’aun dengan sombongnya mengatakan kepada kaum bani Israil dan nabi Musa a.s. bahwasannya “tidak ada orang/manusia yang melebihi dari kekuatannya, dan yang lebih parah lagi, ia memproklamirkan dirinya sebagai tuhan. Hingga pada akhirnya kecongkaan Fir’aun hanyut bersama gelombang lautan yang sampai merenggut nyawanya. Ketiga kisah di atas adalah gambaran seseorang/makhluq Allah yang terlalu sembrono alias ngawor dalam menggunakan lisannya, hingga Allah SWT murka dan menurunkan adzab baginya. Disisi lain, tak sedikit pula orang-orang yang diberi Allah SWT sebuah kenikmatan dan kebahagiaan lantaran bisa menggunakan lisan dan tangannya kepada hal-hal yang bermanfaat yang Allah SWT. Bagaiman kisah yang dialami sahabat Bilal, meskipun dijemur diatas pasir yang begitu panas serta terik matahari yang begitu menyengat, beliau tetap berpegang teguh pada kalimat : أشهد ان لا اله الا الله واشهد ان محمد رسول الله
tak sedikitpun kata-kata yang keluar dari lisan sahabat Bilal untuk keluar dari agamanya yakni “Dinul Islam”, meskipun nyawa taruhannya. Kisah seorang pelacur yang diampuni seluruh dosanya, bahkan dijanjikan surga oleh Allah SWT lantaran mau menjulurkan tangannya kedalam sumur untuk mengambil air guna memberikannya kepada seekor Anjing yang saat itu kehausan. Bahkan nabi sendiri sampai di klaim sebagai orang yang mempunyai sifat As-Shiddiq karena kata-kata beliau yang tak pernah dusta, apa yang di ucapkan selalu benar. Berangkat dari kisah-kisah inilah, wajar jika nabi mengajarkan pada kita :
قل الحق ولو كان مرا
“Berkatalah yang benar/jujur, meskipun hal itu pahit (sulit untuk di katakan).”
Tumbuhnya sifat sombong, saling hasut, mengadu domba, atau tindakan yang tidak manusiawi seperti perikaian, pembunuhan, dan lain sebagainya, adalah satu bentuk atau wujud dari kesembronoan seseorang dalam menggunakan tangan dan lisannya. Adanya konflik, caci-maki yang berlanjut pada pada pertempuran juga salah satu efek dari “Lisan” yang tidak disetir oleh Ilmu dan Agama. Makanya 4 huruf (L-I-S-A-N), meski kecil tak tak bertulang, ia bisa menjerumuskan seseorang kelubang kehancuran. Ada benarnya para Ulama’ menasihati kita : “diam itu emas”, bahkan juga ada yang mengatakan : “semakin banyak seseorang berbicara, maka kesalahan dari omongannya tersebut juga bisa banyak.”
Lisan dan tangan adalah satu anugrah yang paling besar selain anugrah-anugrah yang telah diberikan kepada kita. Namun, kita jangan berbangga dahulu, apa yang telah dititipkan/diberikan Allah SWT kepada kita merupakan satu amanat yang kelak dipertanyakan di depan “mahkamah tertinggi” yakni pengadilan Allah SWT. Kita diberi sepasang mata, telinga, kaki, dan kedua tangan, hidung dan lain sebagainya, semua akan dipertanyakan kepada Allah SWT. Jika sepasang mata yang kita miliki banyak di gunakan untuk melihat hal-hal yang maksiat, kedua kaki, banyak kita ayunkan untuk melangkah ke tempat-tempat yang tidak di ridlohi Allah, telinga, yang semestinya di gunakan untuk mendengarkan bacaan-bacaan Al-Qur’an, peruah-petuah bijak dari para Ulama’, dan liai sebagainya, ternyata kita menyalahfungsikannya. Begitu seterusnya. Jika itu yang banyak kita perbuat selama hidup, maka Naudzubillah . . . . .! mungkin nerakalah yang pantas kita diami.
Mengaca dari itu semua, maka tidak ada salahnya jika kita kembali memperhatikan sabda nabi yang berbunyi : خسر الناس انفعهم للناس “sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberikan menfaat pada manusia lainnya.” Kita harus berusaha untuk selalu berbuat baik, memberikan manfaat dari apa yang kita miliki kepada seserang. Kita mempunyai tangan, maka bantulah mereka yang lagi kesusahan, menulislah Ilmu yang hasilnya/manfaatnya bisa dirasakan orang lain. Kita punya lisan, maka perbanyaklah dzikir kepada Allah, membaca Al-Qur’an, sholawat, serta sampaikanlah ajaran-ajaran agama dengan cara menasihati mereka (saudara muslim) yang masih awam akan ajaran Rasullullah. Kita punya kedua kaki, maka perbanyaklah untuk melangkah ke masjid, majlis-majlis dzikir, dan lain sebagainya. Jika tidak ingin seperti Fir’aun, Barseso, atau senasib dengan Iblis, maka bekalilah “Lisan dan kedua tangan anada dengan Ilmu, bukan dengan Nafsu. [Ibnu-Sundawy]
Selengkapnya...

"وانك لعلي خلق عظيم"

“Sesungguhnya benar-benar ada pada diri rosullallah ahklaq yang mulia”

Bila anda seorang sopir, tentunya sepanjang perjalanan anda sudah mengenal serta mentaati peraturan yang ada disepanjang perjalanan tersebut. Hal ini dilakukan, tidak lain supaya ketika anda mengemudi bebas dari pelanggaran dan tentunya mendapatkan keselamatan sampai tujuan. Demikian juga bila pada satu ketika anda ditakdirkan Allah SWT untuk menjadi seorang aparat, semisal ; Polisi, TNI, ABRI, atau BANSER. dalam keseharian anda dituntut untuk mematuhi peraturan yang diberikan oleh sang komandan atau pimpinan anda, lain dari itu, bila anda menginginkan kenaikan pangkat atau gaji, anda harus pandai-pandai dalam bertugas dan meniru kinerja atau semangat para senior anda ketika menjalankan tugas.

Kedua contoh diatas adalah sebuah realita kehidupan yang mengajarkan pada kita, bahwasannya hidup itu memiliki aturan atau etika. Kehidupan tidak bisa diatur sesuai kehendak atau nafsu manusia belaka, dan dalam kesehariannya, seseorang haruslah memiliki figur seorang pemimpin yang bisa menuntun mereka atau minimal orang tersebut mempunyai keinginan untuk meniru orang-orang sukses dalam hal duniawiyah dan ukhrowiyah. Lain dari itu, mereka juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang hamba. Maka dari itu, untuk menjadi seorang hamba yang baik, aturan diatas harus bisa dikerjakan setiap orang dalam menjalani kehidupan.
Sejatinya peraturan dan ketetapan yang telah ditetapkan oleh suatu Negara dan pemegang kekuasaan tertinggi yakni Allah SWT, hanyalah sebuah “kendaraan” yang tentunya membutuhkan seorang sopir yang bisa mengantarkan bahagia dunia-akhirat. Sopir yang dimaksud disini tentunya bukanlah seorang sopir yang banyak kita temui terminal-terminal, melainkan sopir disini adalah seseorang yang bisa menjadi figur serta panutan yang tentunya selalu menagajak pada kebaikan dan berlanjut pada kebahagiaan akhirat.
Berbicara “sopir” yang dimaksud di atas, disini penulis menyamakannya dengan figur seorang pemimpin yang betul-betul menjadai panutan bagi seluruh umat. Dalam jejeran orang-orang terkemuka dan tersohor di dunia Islam, kita mengenal sosok kecerdasan Imam Syafi’I, kejeniusan Imam Ghozali, sikap baktinya Uwais Al-Qorni kepada orang tuanya, maqom tinggi yang dimiliki Syaihk Abdul Qodir Al-Jilani, para pakar hadist seperti: Sahabat Abu Hurairoh, Abu Darda’, Ibnu Mas’ud, ketegasan sahabat Umar bin Khottob, kelembutan sikap sahabat Abu Bakar, dan tentunya yang tak mungkin kita lupakan adalah Khoirul Anbiya’ Nabi Muhammad SAW sebagai seorang pemimpin yang arif, bijaksana, adil, yang sampai sekarang tidak ada yang mampu menandinginya. Merekalah “sopi-sopir” yang patut kita ikuti, yang bisa memberikan kita keselamatan serta kebahagiaan dunia-akhirat.
Kita mungkin masih ingat bagaimana peristiwa “isro’-mi’roj” yang dialami Rosulallah. Dengan pengorbanan yang begitu besar serta melewati berbagai peristiwa, di saat itu pula beliau menangis seraya meminta syafaat atau pertolongan bagi umatnya kepada Allah SWT, dalam do’anya beliau memohon ya Robbi...., ummati....ummati.....ummati (umatku….umatku….umatku), hal demikian itu dilakukan nabi sampai tiga kali dengan posisi sujud yang sangat lama dihadapan rob-nya. Peristiwa lain yang tak kalah hebohnya adalah ketika manusia berbondong-bondong meminta pertolongan kelak ketika di padang mahsyar. Disitu dijelaskan Nabi Adam sebagai “Abu Basyar” (bapaknya manusia), Nabi Ibrohim yang menyandang gelar “Kholilullah” (kekasih Allah), Nabi Musa yang juga mendapatkan gelar “Kalimullah” (nabi yang sering bercakap-cakap dengan Allah), Nabi Isa alaihissalam. Kesemuanya hanya mampu mengatakan nafsi…nafsi…nafsi…, saat dimintai pertolongan. Sedangkan Nabi Muhammad SAW sebagai Khoirul Anbiya’ saat itu mampu meredam kegelisahan dan ketakutan manusia dengan memberikan pertolongan kepada mereka.
Dengan jiwa kebesaran, serta sifat terpuji yang dimiliki Rosullallah SAW, pantas jika beliau ditempatkan di posisi teratas dalam buku yang berjudul “100 tokoh berpengaruh di dunia”. Jika dilihat dari sisi historisnya, Nabi Muhammad memiliki jutaan bahkan trilliunan umat di berbagai belahan dunia. Diakui atau tidak, jumlah umat terbanyak di seluruh dunia ini masih dipegang agama Islam. Satu pertanyaan besar muncul dari kita, mengapa sampai sekarang agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad terus menunjukkan keksisannya? Jawabannya adalah, kita telah diperkenalkan sejarah, bagaimana estafet kepemimpinan Islam kala dipegang nabi, dengan berbagai kelebihan yang dimiliki Nabi Muhammad SAW, membuat Islam pada akhirnya tampil sebagai agama yang kuat serta ditakuti oleh musuh-musuhnya. Beliau mampu mengubah kondisi kehidupan penduduk arab yang saat itu terkenal dengan perilaku jahiliyahnya, hingga pada akhirnya, mereka (penduduk arab) memiliki pola pikir (mindset) yang maju, serta pandangan hidup (world view) yang baik. Memang beliau sudah ratusan tahun meninggalkan kita, akan tetapi semua kebaikan mulai dari ahklaknya, ihwal atau perilaku, serta tutur sapanya yang begitu lembut, masih menjadi contoh paling terbaik yang diikuti oleh kaum muslimin.

Sebagai umat Islam dan mengaku bahwasanya kita golongan ahlu sunnah wal jama’ah, sudah sepantasnya semua perbuatan atau ihwal kita merujuk pada apa yang pernah di lakukan oleh nabi Muhammad SAW. Sifat lembut, sopan santun, sabar, tegas, serta, akhlaqnya yang terpuji harus semaksimal mungkin kita tanamkan dalam diri kita. Minimal diri kita bisa meniru “secuil” akhlaq yang dimiliki Rasullullah SAW. Dalam pepatah arab kita diingatkan:

الأخلاق فوق العلم . . . .
Yang artinya:
“Akhlaq itu kedudukannya di atas ilmu”
Seseorang menjalani kehidupan tanpa adanya etika atau moral yang baik, maka sulit baginya untuk mendapatkan kemuliaan dari masyarakat serta derajat tinggi di sisi Allah SWT. Imam Syafi’I, Imam Ghozali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani sampai Kyai Hasyim As’ari, adalah orang-orang hebat yang sudah nggak asing lagi bagi kita selain keilmuanya yang begitu tinggi, disisi lain juga tak kalah pentingnya, beliau-beliau juga memiliki akhlaq yang begitu mulia di mata masyarakat dan tentunya di hadapan Allah SWT. Mereka adalah sederetan orang yang mampu atau bisa meng-copy akhlaq Rasullullah dalam realitas kehidupan. Meskipun tidak sampai 100 persen, setidaknya mereka adalah orang-orang yang patut di banggakan dan pantas mendapatkan syafa’at dari nabi agung Muhammad SAW.

Kehidupan ini adalah diibaratkan seperti halnya gema yang bisa memantulkan suara. Tatkala ada seseorang yang berteriak dengan suara lantang di tengah lapangan atau ruangan kosong, seketika itu ia akan mendapatkan balasan suara sama seperti apa yang ia katakan. Bila ia berkata “aku akan berbuat baik . . . . . ., maka spontan ia juga mendengarkan suara persis seperti yang di ucapkan tadi, demikian juga sebaliknya. Ibarat diatas adalah satu kenyataan yang riil yang selalu kita jumpai dalam kehidupan. Bilamana kita berbuat baik, maka kita juga di perlakukan baik. Bila berkelakuan jelek, maka pantas jika kita juga di perlakukan jelek. Jika melihat realitas seperti di atas, sebagai manusia dibekali akal pikiran, tentunya kita tau apa yang harus kita perbuat. Semua orang pasti senang jika di perlakukan baik layaknya Rasullullah yang di perlakukan baik pula oleh para pengikutnya bahkan para malaikat, alam beserta isinya. Pun demikian, kita marah apabila ada seseorang yang memperlakukan jelek, sebagaimana Allah melaknat Fir’aun, Qorun, Namrud, dan lain sebagainya. Maka dari itu, kita harus senantiasa berkelakuan baik kepada siapapun dan di manapun kita berada. Adapun kelakuan baik itu sendiri bisa kita cari dari orang baik dengan cara meniru tingkah lakunya. Setelah itu, baru kita mencoba merealisasikan dalam kehidupan.[Ibnu-Sundawy]

Selengkapnya...